TULISAN PERTAMA:
DEFINISI DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan merupakan suatu proses generasi muda untuk dapat
menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif
dan efisien.
Pendidikan lebih daripada pengajaran, karena pengajaran sebagai suatu
proses transfer ilmu belaka, sedang pendidikan merupakan transformasi
nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya.
Perbedaan pendidikan dan pengajaran terletak pada penekanan
pendidikan terhadap pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik di
samping transfer ilmu dan keahlian.
Pengertian pendidikan secara umum yang dihubungkan dengan
Islam—sebagai suatu system keagamaan—menimbulkan pengertian-pengertian
baru, yang secara implicit menjelaskan karakteristik-karakteristik yang
dimilikinya.
Pengertian pendidikan islam
Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam
inheren dengan konotasi istilah “tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib” yang
harus dipahami secara bersama-sama. Ketiga istilah ini mengandung makna
yang mendalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang
dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain.
Istilah-istilah itu pula sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan
Islam: informal, formal dan non formal.
Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses
penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan
dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk
beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.
Dari berbagai literatur terdapat berbagi macam pengertian pendidikan
Islam. Menurut Athiyah Al-Abrasy, pendidikan Islam adalah mempersiapkan
manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air,
tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, pola pikirnya teratur dengan
rapi, perasaannya halus, profesiaonal dalam bekerja dan manis tutur
sapanya.
Sedang Ahmad D. Marimba memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam
adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum islam menuju
kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Sedangkan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan adalah
suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada
metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima
proses dan kandungan pendidikan tersebut.1
Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan yaitu adanya proses, kandungan, dan penerima. Kemudian disimpulkan lebih lanjut yaitu ” sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam diri manusia”.
Jadi definisi pendidikan Islam adalah, pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang tempattempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja.
Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas diperuntutukan untuk manusia saja. menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam At-ta’dib, karena istilah ini paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan itu, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mancakup juga pendidikan kepada hewan. Menurut Al-Attas Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan beberapa tingkat dan tingkatan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Dari pengertian Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman yang mendalam, arti dari pengertian itu adalah, “pengenalan” adalah menemukan tempat yang tepat sehubungan denagn apa yang dikenali, sedangkan “pengakuan” merupakan tindakan yang bertalian dengan pengenalan tadi. Pengenalan tanpa pengakuan adalah kecongkakan, dan pengakuan tanpa pengenalan adalah kejahilan belaka. Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah seiring. Ilmu tanpa amal maupun amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian tempat yang tepat adalah kedudukan dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakatnya, maksudnya dalam mengaktualisasikan dirinya harus berdasarkan kriteria Al-Quran tentang ilmu, akal, dan kebaikan (ihsan) yang selanjutnya mesti bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan secara positif, dipujikan serta terpuji.2
Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan yaitu adanya proses, kandungan, dan penerima. Kemudian disimpulkan lebih lanjut yaitu ” sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam diri manusia”.
Jadi definisi pendidikan Islam adalah, pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang tempattempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja.
Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas diperuntutukan untuk manusia saja. menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam At-ta’dib, karena istilah ini paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan itu, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mancakup juga pendidikan kepada hewan. Menurut Al-Attas Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan beberapa tingkat dan tingkatan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Dari pengertian Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman yang mendalam, arti dari pengertian itu adalah, “pengenalan” adalah menemukan tempat yang tepat sehubungan denagn apa yang dikenali, sedangkan “pengakuan” merupakan tindakan yang bertalian dengan pengenalan tadi. Pengenalan tanpa pengakuan adalah kecongkakan, dan pengakuan tanpa pengenalan adalah kejahilan belaka. Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah seiring. Ilmu tanpa amal maupun amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian tempat yang tepat adalah kedudukan dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakatnya, maksudnya dalam mengaktualisasikan dirinya harus berdasarkan kriteria Al-Quran tentang ilmu, akal, dan kebaikan (ihsan) yang selanjutnya mesti bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan secara positif, dipujikan serta terpuji.2
Tujuan pendidikan islam
Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia
dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang
selalu bertakwa kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia
di dunia dan akhirat (lihat S. Al-Dzariat:56; S. ali Imran: 102).
Dalam konteks sosiologi pribadi yang bertakwa menjadi rahmatan lil
‘alamin, baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam
Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan
Islam.
Tujuan khusus yang lebih spesifik menjelaskan apa yang ingin dicapai
melalui pendidikan Islam. Sifatnya lebih praxis, sehingga konsep
pendidikan Islam jadinya tidak sekedar idealisasi ajaran-ajaran Islam
dalam bidang pendidikan. Dengan kerangka tujuan ini dirumuskan
harapan-harapan yang ingin dicapai di dalam tahap-tahap tertentu proses
pendidikan, sekaligus dapat pula dinilai hasil-hasil yang telah dicapai.
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah
terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan
haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang
dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan
tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan
hidup menusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti
dalam surat a Dzariyat ayat 56 :
“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”.
Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas
pada menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat,
ibadah Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu
mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau
disandarkan) kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam
untuk mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang
benar.
Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta
segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan,
pemikiran yang disangkutkan dengan Allah.
Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :
1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang
berupa pengetahuan, tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan
rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia
dan di akhirat.
2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku
masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan
masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.
3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran
sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan
masyarakat.
Menurut al abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi
1. Pembinaan akhlak.
2. menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.
3. Penguasaan ilmu.
4. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.
Menurut Asma hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan islam dapat diperinci menjadi :
1. Tujuan keagamaan.
2. Tujuan pengembangan akal dan akhlak.
3. Tujuan pengajaran kebudayaan.
4. Tujuan pembicaraan kepribadian.
Menurut Munir Mursi, tujuan pendidikan islam menjadi :
1. Bahagia di dunia dan akhirat.
2. menghambakan diri kepada Allah.
3. Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat islam.
4. Akhlak mulia.
Kesimpulan
Dengan pemaparan definisi pendidikan islam di atas dapat disimpulkan
bahwa definisi pendidikan islam adalah proses pembentukan kepribadian
manusia kepribadian islam yang luhur. Bahwa pendidikan islam bertujuan
untuk menjadikannya selaras dengan tujuan utama manusia menurut islam,
yakni beribadah kepada Allah swt.
Diharapkan dengan pemahaman hakikat pendidikan islam ini. Member
motivasi agar manusia khususnya muslim selalu mencari ilmu hingga akhir
hayat, dalam rangka merealisasikan tujuan yang telah disebutkan dalam
QS. Adz-Dzariyat: 56 dapat diaplikasikan secara kontiniu.
TULISAN KEDUA
“Ta’dib”, Konsep Ideal Pendidikan Islam
Oleh: Amin Hasan
AWAL pendidikan Islam bermula dari tempat yang sangat sederhana,
yaitu serambi masjid yang disebut al-Suffah. Namun, walaupun hanya dari
serambi masjid, tetapi mampu menghasilkan ilmu-ilmu keislaman yang bisa
dirasakan sampai dengan sekarang. Tidak hanya itu, dari serambi masjid
ini pula mampu mencetak ulama-ulama yang sangat dalam keilmuannya dimana
pengaruhnya sangat besar sekali bagi peradaban Islam, bahkan juga mampu
mempengaruhi peradaban-peradaban lain. Sudah barang tentu, “pendidikan”
menjadi syarat utama dalam membangun sebuah peradaban yang besar. Oleh
sebab itu, pendidikan merupakan tema yang tidak pernah sepi dan selalu
manarik perhatian banyak kalangan. Sehingga,tarik-ulur konsep yang ideal
pun selalu mewarnai dalam sejarah perjalanan pendidikan. Begitu pun
yang terjadi dalam dunia Islam.
Namun, sungguh disayangkan bahwa dalam perkembangannya, kondisi
sebagaimana diawal pendidikan Islam terdahulu sudah kurang terasa lagi
dari institusi pendidikan Islam yang ada sekarang. Sebagaimana sebuah
obor, maka obor tersebut sudah hampir padam. Agar obor tersebut tidak
padam dan terus menyala, maka pendidikan Islam seperti yang telah
diwariskan oleh ulama-ulama terdahulu harus dihidupkan kembali. Di
sinilah tulisan ini hadir untuk mengeksplor konsep pendidikan Islam yang
akan dikhususkan pada konsep ta’dib yang ditawarkan oleh Prof. Dr. Syed
Muhammad Naquib Al-Attas.
Ada tiga istilah yang umum digunakan dalam pendidikan Islam yaitu at-tarbiyah, al-ta’lim dan at-ta’dib. Umumnya, istilah pendikan Islam banyak menggunakan at Tarbiyah. Padahal menurut Naquib Al Attas, pengertian ta’dib lebih tepat dipakai untuk pendidikan Islam daripada ta’lim atau tarbiyah.
Ta’dib merupakan mashdar dari addaba yang secara konsisten bermakna mendidik. Ada tiga derivasi dari kata addaba, yakni adiib, ta’dib, muaddib. Seorang guru yang mengajarkan etika dan kepribadian disebut juga mu’addib. Setidaknya. Seorang pendidik (muaddib),
adalah orang yang mengajarkan etika, kesopanan, pengembangan diri atau
suatu ilmu agar anak didiknya terhindar dari kesalahan ilmu, menjadi
manusia yang sempurna (insan kamil) sebagaimana dicontohkan
dalam pribadi Rasulullah SAW. Cara mendidiknya perlu dengan menggunakan
cara-cara yang benar sesuai kaidah. Karena itu ta’dib berbeda
dengan mengajarkan biasa sebagai mana umumnya mengajarkan siswa di
sekolah yang hanya dominan mengejar akademis dan nilai.
Istilah ini menjadi penting untuk meluruskan kembali identitas dari
konsep-konsep pendidikan Islam yang secara langsung maupun tidak
langsung telah terhegemoni oleh pendidikan negara-negara sekuler.
Mengembalikan prioritas utama pendidikan Islam
Al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan asas dalam pendidikan Islam.
Sehingga, bisa dipahami bahwa tujuan dari pendidikan Islam adalah untuk
mentauhidkan diri kepada Allah. Artinya, mentauhidkan diri kepada Allah
adalah prioritas utama dalam pendidikan Islam selain dari tujuan
keilmuan (IPTEK, keahlian, keterampilan dan profesionalisme), membentuk
manusia untuk menjadi khalifah, pembentukan akhlak yang mulia, membentuk
insan Islami bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat, serta
mempersiapkan manusia bagi kehidupan di dunia dan akhirat. Oleh sebab
itu, arah dan tujuan, muatan materi, metode, dan evaluasi peserta didik
dan guru harus disusun sedemikan rupa agar tidak menyimpang dari
landasan akidah Islam.
Bertauhid kepada Allah sebagai prioritas utama dalam pendidikan Islam
secara tidak langsung juga berarti pendidikan Islam juga bertujuan
mencari keridhaan-Nya.
Artinya, peningkatan individu-individu yang kuat pada setiap peserta
didik diperoleh melalui ridha Allah. Jadi tidak benar jika dalam
pendidikan individu peserta didik diletakkan pada posisi kedua setelah
kebutuhan sosial-politik masyarakat. Al-Attas menjelaskan, bahwa
penekanan terhadap individu bukan hanya sesuatu yang prinsipil,
melainkan juga strategi yang jitu pada masa sekarang. (baca Aims and Objevtives)
Di sinilah letak keunikan dari pendidikan Islam yang tidak dimiliki
oleh sistem pendidikan selain Islam, dimana pendidikan yang dilakukan
berpusat pada pencarian ridha Allah melalui peningkatan kualitas
individu.
Bisa dibayangkan betapa bahayanya jika pendidikan dilihat sebagai
ladang investasi baik dalam kehidupan sosial masyarakat maupun negara.
Sudah bisa dipastikan bahwa dunia pendidikan akan melahirkan patologi
psiko-sosial, terutama dikalangan peserta didik dan orang tua, yang
terkenal dengan sebutan “penyakit diploma” (diploma disease),
yaitu usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan bukan karena kepentingan
pendidikan itu sendiri, melainkan karena nilai-nilai ekonomi dan
sosial. (baca Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib
Al-Attas).
Hal tersebut, Al-Attas melanjutkan dalam karnyanya yang lain,
dikarenakan pendidikan menurut Islam adalah untuk menciptakan manusia
yang baik, bukan untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik.
Hal ini sangat ditentukan oleh tujuan mencari ilmu itu sendiri. Sebab
semua ilmu datang dari Allah Swt, maka ilmu merangkumi iman dan
kepercayaan.
Dalam maksud yang sama bahwa ilmu tidak bebas nilai. Oleh karena itu,
Al-Attas menegaskan bahwa tujuan menuntut ilmu adalah penanaman
kebaikan atau keadilan dalam diri manusia sebagai manusia dan
diri-pribadi, dan bukannya sekadar manusia sebagai warga negara atau
bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Inilah nilai manusia
sebagai manusia sejati, sebagai penduduk dalam kota-dirinya (self’s city),
sebagai warga negara dalam kerajaan mikrokosmiknya sendiri, sebagai
ruh. Inilah yang perlu ditekankan, manusia bukan sekadar suatu diri
jasmani yang nilainya diukur dalam pengertian pragmatis atau utilitarian
yang melihat kegunaannya bagi negara, masyarakat dan dunia. (baca: Islam and Secularism).
Dalam semangat yang sama, Muhammad ‘Abduh juga mengkritik dengan
tajam pragmatisme yang terjadi dalam pendidikan yang secara khusus ia
tujukan pada sistem pendidikan Mesir. Inti dari semuanya adalah bahwa
prioritas utama dalam pendidikan Islam adalah membentuk orang menjadi
terpelajar.
Menurut Al-Attas, orang terpelajar adalah orang “baik”. Pertanyaannya
kemudian, apakah sesederhana itu pendidikan Islam? Apakah pendidikan
Islam hanya membentuk orang hanya sekadar menjadi “baik”? Apa sebenarnya
“baik” yang dimaksud Al-Attas di atas?
Konsep Ideal
Konsep Ideal pendidikan Islam secara sistematis telah disampaikan
Al-Attas dalam sebuah Konferensi Dunia Pertama mengenai Pendidikan Islam
di Makkah pada awal tahun 1977. Pada Konferensi tersebut, Al-Attas
menjadi salah seorang pembicara utama dan mengetuai komite yang membahas
cita-cita dan tujuan pendidikan.
Dalam kesempatan ini, Al-Attas mengajukan agar definisi pendidikan
Islam diganti menjadi penanaman adab dan istilah pendidikan Islam
menjadi ta’dib. Konsep ta’dib ini disampaikan kembali oleh Al-Attas pada
Konferensi Dunia Kedua mengenai Pendidikan Islam yang diselenggarakan
di Islamabad, pada 1980.
Sebenarnya apa yang menjadi alasan Al-Attas terus-menerus
memperjuangkan konsep ta’dib sebagai pengganti dari Pendidikan Islam?
Itu tidak lain, karena menurut Al-Attas, jika benar-benar dipahami dan
dijelaskan dengan baik, konsep ta’dib adalah konsep yang paling tepat
untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta’lim. Sebab,
Al-Attas melanjutkan, bahwa struktur kata ta’dib sudah mencakup
unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah). Sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai konsep tarbiyah-ta’lim-ta’dib. (baca The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education).
Masih dalam karya yang sama, Al-Attas juga menegaskan bahwa istilah
“pendidikan” yang digunakan sekarang ini, secara normal, bersifat fisik
dan material serta berwatak kuantitatif. Hal tersebut lebih disebabkan
oleh konsep bawaan yang termuat dalam istilah tersebut berhubungan
dengan pertumbuhan dan kematangan material dan fisik saja. Esensi sejati
proses pendidikan telah diatur menuju pencapaian tujuan yang
berhubungan dengan intelek atau ‘aql yang ada hanya pada diri manusia.
Dari sinilah kemudian, dengan konsep ta’dib-nya, Al-Attas
menjelaskan bahwa orang terpelajar adalah orang baik. “Baik” yang
dimaksudkan di sini adalah adab dalam pengertian yang menyeluruh, “yang
meliputi kehidupan spiritual dan material seseorang, yang berusaha
menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya.” Oleh karena itu, orang
yang benar-benar terpelajar menurut perspektif Islam didefinisikan
Al-Attas sebagai orang yang beradab. (baca: Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas).
Oleh sebab itu, pendidikan, menurut Al-Attas adalah “penyemaian dan
penanaman adab dalam diri seseorang—ini disebut dengan ta’dib.” (baca: Aims and Objectives).
Sebagaimana al-Qur’an menegaskan bahwa contoh ideal bagi orang yang
beradab adalan Nabi Muhammad Saw., yang oleh kebanyakan sarjana Muslim
disebut sebagai Manusia Sempurna atau Manusia Universal (al-insan al-kulliyy).
Perkataan adab sendiri memiliki arti yang sangat luas dan mendalam.
Selain itu, Al-Attas melanjutkan, ide yang dikandung dalam perkataan ini
sudah diislamisasikan dari konteks yang dikenal pada masa sebelum Islam
dengan cara menambah elemen-elemen spiritual dan intelektual pada
dataran semantiknya.
Maka, berdasarkan arti perkataan adab yang telah diislamisasikan itu
dan berangkat dari analisis semantisnya, Al-Attas mengajukan definisinya
mengenai adab:
Adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasanya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hierarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual, dan spiritualnya. (baca: The Semantics of Adab)
Adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasanya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hierarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual, dan spiritualnya. (baca: The Semantics of Adab)
Al-Attas, sekali lagi menegaskan bahwa pendidikan sebagai penanaman
adab ke dalam diri, sebuah proses yang sebenarnya tidak dapat diperoleh
melalui suatu metode khusus. Dalam proses pembelajaran, siswa akan
mendemonstrasikan tingkat pemahaman terhadap materi secara berbeda-beda,
atau lebih tepatnya pemahaman terhadap makna pembelajaran itu. Hal ini
karena ‘ilm dan hikmah yang merupakan dua komponen utama dalam konsepsi
adab benar-benar merupakan anugerah Allah Swt. (baca: Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, Syed M. Naquib Al-Attas).
Tegasnya, bahwa adab mensyaratkan ilmu pengetahuan dan metode
mengetahui yang benar. Dari sinilah kemudian, pendidikan Islam memainkan
peranannya serta tanggung jawabnya di dunia dan tujuan akhirnya di
akhirat. Dari sini tampak sangat jelas dalam mata hati kita bahwa
kebenaran metafisis sentralitas Tuhan sebagai Realitas Tertinggi
sepenuhnya selaras dengan tujuan dan makna adab dan pendidikan sebagai
ta’dib. Dari sinilah kemudian, menurut Al-Attas, konsep ideal pendidikan
Islam adalah ta’dib.
Epilog
Alhasil, mentauhidkan diri kepada Allah adalah prioritas utama dalam
pendidikan Islam. Hal tersebut tidak lain diperoleh melalui ridha Allah.
Dengan mengajukan konsep ta’dib sebagai pengganti dari
pendidikan Islam diharapkan agar peserta didik tidak hanya memperoleh
intelek dan ‘aql saja. Tetapi lebih dari itu semua, yaitu peserta didik
benar-benar mampu menjadi orang yang terpejalar, dan orang yang beradab.
*
TULISAN KETIGA
Mendesain Tujuan Pendidikan
M. Syahrul Zaky Romadloni
Konon, sebelum penciptaannya manusia pernah bersaksi kepada Allah
subhanahu wa ta’ala bahwa Dia adalah Tuhan mereka (Al-A’raf:172). Janji
ini menjadi fitrah manusia, bahwasanya ketika jiwa mereka ditiupkan
dalam rahim dan lahir ke dunia ini, mereka dalam keadaan patuh dan
tunduk kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Hal ini dibuktikan dengan
ketaataan mereka terhadap aturan kosmos Allah SWT. Baru setelah mereka
berintekrasi dengan ayah bunda serta lingkungan, mereka tersilap dari
kesaksian yang mereka berikan dahulu. Akhirnya melencenglah mereka dari
fitrah penciptaan. Begitu kata Rasullullah SAW dalam haditsnya.
Sifat asali manusia adalah bersaksi dan beriman akan keesaan Allah
Subhanahu wa ta’ala. Maka dari itu dalam Islam tidak ada istilah
pembaptisan karena mereka dilahirkan dengan fitrah keimanannya. Dalam
perpektif kita, manusia dikatakan meraih kemerdekaannya yang hakiki
apabila dapat kembali kepada fitrah mereka: bersaksi dan beriman kepada
Allah Sang Pencipta. Kemerdekaan dalam perspektif Islam bukan bebas
sebebas-bebasnya dari pelbagai aturan dan mengikuti hawa nafsu manusia,
karena hal itu cenderung mengarah ke perbuatan destruktif. Fakta dan
sejarah telah banyak mengajarkan kita tentang itu.
Konsekuensi dari kesaksian dan keimanan kepada Allah Subhanahu wa
ta’ala adalah taat dan tunduk terhadap aturan yang digariskan Allah
subhanahu wa ta’ala bagi kesejahteraan manusia di muka bumi. Hal ini
dapat dengan jelas dilihat dari aturan-aturan yang terdapat dalam
al-Quran ‘kecil’ dan al-quran ‘besar’. Al-Quran ‘kecil’ adalah ayat-ayat
Allah yang termaktub dalam mushaf yang sering kita baca sehari-hari
sedangkan al-Quran ‘besar’ adalah ayat-ayat Allah yang terkandung dalam
alam semesta beserta isinya. Selain itu, panduan praktis dari Rasulullah
SAW melalui haditsnya juga dapat dijadikan pegangan dalam menjalani
kehidupan.
Bagaimana dengan panduan yang berasal dari akal manusia, padahal
Allah telah ‘bersusah payah’ memberikan anugerah tersebut bagi manusia
dan dengannya menjadikan mereka spesial dari makhluk hidup yang lainnya?
Tentunya kita akan dengan bijak menjawab bahwa produk akal manusia
dapat digunakan untuk membuat peraturan di muka bumi selagi digunakan
dengan perspektif pandangan hidup Islami yang sesuai dengan al-Quran dan
sunnah. Jangan khawatir untuk tidak dapat mengeksplorasi ‘kebrilianan’
akal manusia karena toh kedua sumber utama itu hanya memberikan garis
besar bagaimana seharusnya manusia hidup di dunia ini. Selanjutnya, akal
manusia berperan besar dalam menafsirkan implementasi ayat-ayat
tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dan itu lebih selamat, karena akal
kita dibimbing oleh wahyu. Jadi tidak perlu ribut-ribut dengan
sekulerisasi, menyimpan al-Quran dan as-sunnah dalam kehidupan pribadi
setiap muslim, karena itu menunjukkan arogansi kita pada Sang Pencipta.
Kok tidak mau diatur oleh Sang Pencipta, dasar tak tahu untung!
Menuju kemerdekaan yang hakiki itulah tujuan pendidikan harus
dirumuskan mau kemana. Hendaknya, pendidikan yang kita berikan kepada
anak didik kita membimbing mereka pada fitrah dan memperingatkan mereka
apabila sewaktu-waktu menyimpang dari kesaksian yang telah diberikan
ketika ruh ditiupkan. Pendidikan harus membuat manusia semakin
memperbaharui keimanan dan komitemen mereka akan tunduk dan patuh
terhadap aturan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Semakin
mereka tahu, semakin mereka menyadari kekurangan mereka dan betapa
luasnya ilmu Allah, bukan sebaliknya, semakin mereka congkak dan tidak
mau patuh terhadap aturan Tuhan.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menitik beratkan pada keberhasilan setiap individu untuk menjadi manusia sempurna (insan kamil) dan
beradab. Pendidikan yang mencetak insan kamil merujuk kepada pendidikan
holistik, dalam artian proses pendidikan terjadi di seluruh aspek
manusia baik itu kognitif, psikomotorik, afektif, spiritual dan lain
sebagainya. Menyeluruh dan tidak setengah-setengah. Sedangkan pendidikan
yang mencetak manusia beradab memiliki semangat untuk membimbing
manusia pada fitrahnya yang hakiki, yaitu kesaksian terhadap keesaan
Allah Subhanahu wa ta’ala. Selain itu insan beradab juga senantiasa
melihat sesuatu dalam perspektif keadilan menyimpan sesuatu pada
tempatnya yang proporsional.
Lalu bagaimana sistem pendidikan holistik itu bisa diterapkan?
Tentunya praxis pendidikan nasional yang kita temui di negara kita tidak
dapat dijadikan sebagai model pendidikan holistik karena sangat
menitikberatkan pada kemampuan kognitif siswa. Pendidikan holistik tidak
dapat diterapkan apabila implementasinya telah direduksi menjadi
sekumpulan pelajaran yang dibonsai dalam sekat kelas, sekolah dan waktu
meskipun dalam tataran praktis pendidikan tersebut dapat disimpan di
tempat-tempat tersebut asal tidak ada proses pembonsaian dan tetap
memperhatikan hal-hal esensial dari pendidikan holistik.
Maka seharusnya pendidikan holistik harus bertumpu pada ciri
totalitasnya dimana seluruh elemen yang ada dalam lingkungan peserta
didik diarahkan pada proses penciptaan lingkungan pendidikan (albiah atarbawiyah). Apa
yang didengar, dilihat dan dirasakan oleh peserta didik haruslah bagian
dari proses pendidikan yang membing mereka secara konstan ke arah yang
lebih baik. Pihak pengelola pendidikan harus bekerja sekuat mungkin
secara kreatif untuk mentransformasikan hal-hal yang secara sekilas
tidak ada hubungan dengan proses pendidikan menjadi salah satu komponen
yang ikut serta mendidik para peserta didik.
Untuk lebih jelasnya, saya berikan contoh. Sekilas kegiatan antri di
Kantor Tabungan Pelajar adalah perihal sepele dan tidak ada kaitannya
dengan proses pendidikan, tetapi apabila pihak pengelola pendidikan jeli
dalam memandang kegiatan remeh ini ternyata di dalamnya terdapat proses
pendidikan akhlak yang sangat banyak. Dengan membudayakan sikap antri,
berarti sekolah secara tidak langsung mendidik peserta didik untuk
bersikap sabar dalam meraih cita-cita mereka. Selain itu, budaya tertib
dalam beraktivitas akan tumbuh di benak para peserta didik. Dan yang
lebih penting adalah penanaman sikap jujur dalam kondisi sulit
sekalipun. Kita tahu bahwa dalam antri seringkali kita ingin cepat-cepat
sampai pada ujung antrian, meskipun hal itu harus dilakukan dengan
hal-hal yang biadab. Nah, jelas bahwa dari hal sepele seperti kegiatan
antri, kita bisa menyisipkan aspek-aspek pendidikan yang memiliki peran
signifikan dalam perkembangan peserta didik. Dan kita memiliki banyak
contoh untuk merealisasikan hal tersebut.
Terwujudnya cita-cita pendidikan holistik tidak akan tercapai apabila
pola pikir bahwa pendidikan identik dengan kursi, bangku dan pengajaran
searah guru-murid dihapus dari benak para stakeholders pendidikan.
Pendidikan tidak cukup dengan itu saja. Pendidikan seyogyanya
didefinisikan secara luas dimana proses pendidikan dengan totalitasnya
digiring ke arah usaha mendidik para peserta didik. Maka, hal ini
berimbas pada penggunaan secara paksa terma-terma ‘non-pendidikan’
menjadi identik dengan proses pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah
penugasan, dimana ketika para peserta didik mendapatkan tugas, lalu
mengerjakannya dan menyelesaikannya adalah juga bagian proses
pendidikan. Pendidikan juga adalah proses pembiasaan, pemaksaan,
pemberian hukuman, dan pemberian pujian bagi setia peserta didik.
Terma-terma ini digunakan tidak lain adalah untuk memberikan defenisi
seluas-luasnya bagi proses pendidikan agar pendidikan holistik dapat
terwujud.
Pada awalnya, pendidikan harus memfokuskan diri pada pembentukan
individu-individu supaya menjadi insan kamil dan beradab seperti yang
telah dibahas di muka tulisan. Lalu, ketika individu-indivdu peserta
didik telah memahami dan menghayati kemanusiaan mereka, hendaknya mereka
digiring pada orientasi pendidikan kemasyarakatan. Hal ini penting
mengingat Rasulullah SAW pernah berujar bahwa manusia yang terbaik di
antara kita adalah mereka yang bermanfaat bagi sesamanya. Outcome
pendidikan tidak boleh menjadi menara gading yang melangit tercerabut
dari akarnya. Insya Allah model pendidikan seperti ini akan mashlahat
bagi kemajuan ummat. Amien.




Posting Komentar